politik dan Islam: Definisi, Teori dan Praktek

Oleh A. Setiawan

Pengantar

Kalau kita berbicara politik maka tergambar urusan yang ada kaitan dengan negara. Bisa juga tergambar urusan yang ada hubungan dengan kasak kusuk supaya jabatan bisa maju. Dapat juga dilihat dalam praktek sebagai upaya untuk berkuasa, misalnya melalui pemilu dan kampanye. Bahkan di kantor pun kita sering dengan dia maju karena “berpolitik”.

Jadi setiap orang mengetahui istilah politik baik dari segi praktek maupun dari segi pengetahuan. Boleh dikatakan berbicara mengenai politik itu mudah dimanapun bisa dilakukan. Namun berbicara dalam perspektif yang sesuai dengan apa yang berkembang dalam dunia studi dan praktek politik apalagi dikaitkan dengan Islam mungkin perlu ekstra membaca beberapa literature standar ilmu politik.

Makalah singkat ini bertujuan untuk menjelaskan gejala yang ada dalam masyarakat yakni kehidupan politik yang akan dimulai dari apa itu politik. Lalu akan membahas politik sebagai ilmu dan politik sebagai seni. Bagian berikutnya mengenai hubungan kegiatan politik seperti yang sudah didefinisikan dalam perkembangan keilmuan terbaru dengan Islam. Mengenai keterlibatan Islam dan Umat Islam dalam politik ini memang cukup menarik karena ada literature yang dibuat khusus untuk menolak kehadiran Islam dalam salah satu cabang kehidupan manusia ini dan bahkan ada yang secara sengaja mengaburkan secara konseptual urusan politik dari pendekatan Islam.

APA ITU POLITIK ?

Untuk memahami arti dari politik dalam literatur yang banyak berkembang di Barat, pendekatan legalitas sering digunakan. Politik diartikan sebagai urusan yang ada hubungan lembaga yang disebut negara. Pemerintahan diartikan politik. Inilah pengertian politik yang paling umum dan kentara. Sehingga belajar tentang ilmu politik berarti belajar mengenai lembaga-lembaga politik, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Inilah definisi yang sampai sekarang masih tetap bertahan.

Namun definisi bahwa politik adalah negara tidak bisa menggambarkan dinamika dalam kehidupan politik itu sendiri. Kalau studi politik hanya mempelajari institusi itu maka tidak bisa menjelaskan mengapa institusi itu ada dan bagaimana proses sampai menjadi lembaga itu seperti parlemen, pengadilan, pemerintahan. Pengertian kelembagaan juga tidak dapat menjelaskan prose pengambilan keputusan di eksekutif misalnya. Definisi yang menekankan legalitas gagal menjelaskan kehidupan politik yang sebenarnya. Jadi kalau misalnya membicarakan.

Oleh sebab itulah berkembang definisi politik sebagai constrained use of social power (Goodin and Klingemann,1998). Oleh karena itu maka baik studi politik maupun praktek politik beralih menjadi studi mengenai sifat dan sumber keterbatasannya serta teknik-teknik menggunakan kekuasaan sosial di dalam keterbatasannya itu.

Dalam mengartikan “power” atau kekuasaan maka pandangan ilmuwan Robert Dahl bisa digunakan di sini. Jadi X memiliki power terhadap Y jika 1) X mampu dengan berbagai cara Y melakukan sesuatu 2) yang disukai X dan 3) Y tidak memiliki pilihan lain untuk melakukannya.

Di dunia Islam pun muncul beberapa pengertian mengenai politik atau Siyasah ini. Imam Al Bujairimi dalam Kitab At Tajrid Linnafi’ al-‘Abid menyatakan Siyasah adalah memperbaiki dan merencanakan urusan rakyat. Lalu Ibnul Qoyyim dalam kitab ‘Ilamul Muaqqin menyebutkan dua macam politik yakni siyasah shohihah (benar) dan siyasah fasidah (salah).

POLITIK SEBAGAI ILMU DAN SENI

Berbicara politik sebagai ilmu yang berkembang di Barat maka berkembang beberapa pendekatan baik politik sebagai tugas moral sehingga politisi seharusnya juga seorang yang bermoral, filosof dan intelek. Politik diartikan sebagai cara untuk mencapai nilai-nilai moral yang tertinggi.

Lalu studi politik beralih dari pendekatan filosofi ke pendekatan institusi sehingga yang menjadi politisi adalah mereka yang mengerti hukum, aturan perundangan dan para hakim.

Selanjutnya berkembang studi politik yang menekankan kepada perilaku politik atau dinamika politik. Dari sini lahir ilmu politik sebagai sebuah proses dalam sistem terbuka dimana dipengaruhi factor eksternal dan internal. Jadi kehidupan politik di dalam masyarakat atau sebuah system tidaklah ada di dalam ruang hampa.

Di dalam praktek yang selain pendekatan tradisional dalam mengaplikasikan politik yakni sebagai sebuah kewajiban moral, atau penggunaan kekuasaan untuk tujuan mulia, maka di Barat muncul apa yang disebut power of politics. Penggunaan kekerasan dalam politik. Muncul istilah dari Machiavelli tujuan menghalalkan segala cara.

Seni mengejar kekuasaan politik ini yang dilakukan di Barat pada umumnya baik dalam skala mikro (sebuah negara,propinsi atau kabupaten) seringkali mengandalkan kepada politik dalam arti Machiavelli yang melepaskan diri dari moral. Setelah runtuhnya raja-raja yang digantikan dengan bentuk negara sejak abad ke 16 maka praktek ala Barat seperti ini juga yang menular ke dunia negara berkembang seperti Indonesia yang lahir setelah Perang Dunia II. Dan politik ini pula yang banyak dipraktekan baik oleh politisi ataupun raja/sheikh di Dunia Islam, sebuah amal politik yang tidak berlandaskan pada moral Islam.

Politik yang dipraktekan di banyak negara Barat inilah yang kemudian juga terpantul dalam tata hubungan antar negara. Hubungan internasional baik dalam tataran ekonomi and politik diwarnai oleh penekanan terhadap negara lemah. Istilah jika Anda mau Damai siaplah perang merupakan diktum penting dalam pergaulan internasional sehingga masalah persenjataan menjadi utama. Dominasi Barat dalam persenjataan ini berangkat dari sebuah konsep yang disebut pendekatan realisme dimana manusia ditafsirkan sebagai mahluk yang senantiasa akan berperang/menguasai untuk memuaskan nafsunya.

Hans Morgenthau salah seorang penulis aliran realis menyatakan, International politics, like all politics, is a struggle for power. Jadi inilah yang kemudian mewarnai negara seperti Amerika dalam berhubungan dengan negara lain. Penggunaan kekuasaan (militer, ekonomi, politik, budaya) sudah terbiasa dilakukan terhadap negara lain termasuk Indonesia.

POLITIK DALAM ISLAM

Yang penting dalam memahami politik dari sudut Islam sekarang ini adalah mengenali adanya upaya untuk memisahkan salah satu cabang kehidupan manusia yang ada urusannya dengan penggunaan kekuasaan ini dari sudut konsepsi, teori, pandangan dan akhirnya praktek umat Islam. Umat Islam dalam kehidupan modern ini menjadi terasing dan alergi bahkan mengartikan salah politik atau institusi politik. Berpolitik, berpartai politik atau berkampanye dianggap sebagai sebuah tabu dan aneh dalam kehidupan seorang Muslim. Inilah yang menjadi tragedi dalam Umat Islam sehingga sifat Islam yang syumul menjadi terkucil mankala berbicara mengenai pentingnya tata kenegaraan baik para pejabat dan institusinya dicelup Islam.

Untuk mengenal pemikiran yang menolak Islam dalam kancah politik kita kenal apa yang disebut sekularisme. Inilah ajaran yang menekankan adanya pemisahan kehidupan dunia dan agama. Dengan kata lain berbicara politik di parlemen, berbicara Islam di mesjid. Dan tidak boleh terjadi sebaliknya atau tidak boleh terjadi bersamaa-sama di satu tempat. Apalagi berbicara nilai-nilai Islam dalam pemerintahan/birokrasi mungkin sesuatu yang bisa ditertawakan karena tidak wajar.

Penulis yang banyak dikutip adalah Ali bin Abdurraziq dari Mesir yang menekankan tidak ada nash Al Quran dan Sunnah yang menjelaskan umat Islam terjun dalam politik. Islam bukan politik dan tidak perlu berpolitik. Pendapat ini diterima di banyak kalangan umat Islam Indonesia sebagai pandangan yang mengartikan umat Islam tidak perlu campur tangan dalam urusan pemerintahan atau politik, cukup sebagai kekuatan budaya yang memberi warna dalam kehidupan politik. Akibat pandangan ini maka Islam tidak perlu dinegarakan/distrukturkan tetapi cukup semangat dan nafas Islam ada dalam lembaga negara itu.

Pandangan Ali bin Abdurraziq inilah yang dominan dalam dunia Islam termasuk di Indonesia. Pendapat ini menolak menerapkan syariah dalam kehidupan masyarakat dengan alasan tidak ada contohnya misi Nabi Muhammad itu mendirikan negara atau lembaga/tata pemerintahan. Misi Nabi Muhammad adalah membawa rahmat untuk seluruh alam bukan mendirikan negara atau kekhalifahan, begitu pendapat dari golongan yang menentang interaksi Islam kedalam politik.

Selain adanya penolakan hubungan politik dalam Islam dengan pengaturan masyarakat, Islam dalam menggunakan kekuasaan ini, ada pula dari Barat upaya mengaburkan peran Islam dalam perjalanan kehidupan masyarakat. Dalam literature politik misalnya muncul istilah demokrasi. Namun begitu kekuatan Islam menang dalam pemilu maka dibatalkan hasil pemilu, seperti di Aljazair dan bahkan dikudeta seperti di Turki. Oleh karena itu berbicara politik maka dalam praktek ada upaya untuk menyisihkan umat Islam dari politik dan pada saat yang sama berbagai pandangan muncul dari Barat untuk mengaburkan nilai-nilai Islam yang ada kaitannya dengan pengaturan masyarakat. Irak adalah contoh terakhir bagaimana penyalahgunaan demokrasi. Untuk mendirikan demokrasi yang diinginkan Barat, Irak diperangi, dibuat pemilu dan dibangun pemerintahan yang sebenarnya pemerintahan boneka karena tidak bisa menentang yang memerintahkannya.

POLITIK ISLAM MASA MENDATANG

Perdebatan ilmiah mengenai Islam dan politik muncul sejak tumbangnya kekhalifahan Islam Ottoman 1924. Sebelumnya literature mengenai pendekatan Islam terhadap masalah kenegaraan baik dalam soal pemilihan imam, kualifikasi pemimpin amir dan tata administrasi kekhalifahan tidak meragukan integrasi Islam dalam politik. Setelah itulah muncul berbagai literature yang banyak dibaca kalangan umat Islam sehingga mengaburkan jati diri Islam dalam kehidupan masyarakat dan lembaga-lembaga yang dibangun untuk mengendalikannya.

Oleh karena itulah sebenarnya dengan terbukanya studi-studi baru mengenai Islam dan politik maka ada beberapa hal untuk masa depan politik Islam.

Pertama, definisi holistik menyeluruh, syumuliyah Islam akan menyelesaikan kontradikisi dan pertentangan diantara umat Islam sendiri mengenai apa yang seharusnya dilakukan baik secara ilmiah maupun praktis dalam mengelola hal-hal kenegaraan atau hal-hal yang berkaitan dengan kekhalifahan, bila sudah berdiri di masa mendatang. Hasan Al Banna mengatakan politik segala hal yang berkaitan dengan memikirkan (dan bertindak) tentang persoalan internal dan eksternal ummat.

Konsep Islam yang menyeluruh mengenai kehidupan tergambar dalam Al Quran sendiri yang mengatur seluruh tindak tanduk dan sepak terjang mulai dari sosial, ekonomi dan kenegaraan. Bahkan dalam praktek Rasulullah sendiri pengelolaan kekuasaan di Madinah dilembagakan dalam Piagam Madinah. Jelas di sini, konsep dan contoh tidak ada kontradiksi seperti terjadi di sebagian kalangan umat Islam.

Kedua, mengingat asingnya keteribatan umat Islam dalam kehidupan politik kenegaraan maka menghilangkan kecanggungan itu perlu dilakukan secara berangsur-angsur. Politik sebagai seni mengatur masyarakat untuk mencapai Ridha Allah seharusnya dipraktekkan oleh kalangan umat Islam yang komit dengan tujuan-tujuan Islami. Pengenalan partai politik berasas Islam dengan perangkat leadership, administrasi dan struktur yang modern akan memberikan rasa percaya umat kepada adanya sebuah konsep yang hidup dalam praktek. Amal yang kentara dalam mengatur kekuasaan yang adil oleh pelaku kenegaraan memberikan kemakmuran serta kepercayaan masyarakat terhadap Islam sebagai masa depan pengaturan politik.

Ketiga, karena politik tidak hanya seni mengatur kekuasaan dalam tingkat sebuah entitas politik, maka studi dan praktek politik di era globalisasi perlu dilakukan di tataran internasional. Dengan semakin tipisnya batas territorial dan kedaulatan sebuah bangsa atau negara maka sudah selayaknya perlu dimasukkan faktor eksternal dalam interaksi politik lokal. Banyak kasus menunjukkan kepentingan eksternal menyebabkan terjadinya masalah dalam sebuah kehidupan politik. Contohnya, perang Irak lebih disebabkan karena individu bukan oleh sebuah masalah sebuah negara.

PENUTUP

Menjelaskan konsep bahwa politik sebenarnya dilakukan setiap masyarakat primitif atau modern karena sifat dan karakter manusia serta jawaban ilmiah Islam terhadap tuntutan kehidupan politik memang perlu waktu. Bahkan di kalangan aktifis saja masih ada sebuah anggapan bahwa berpolitik tidak dilakukan dalam Islam. Menekankan sejarah Rasulullah SAW serta praktek-praktek kontemporer akan mengingatkan keagungan Islam dalam menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan kehidupan manusia sebagai khalifah fil ardhi dan Abdullah sekaligus menyadari pentingnya politik dalam kehidupan Islam.

Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh, sudah sepatutnya memiliki peran utama dalam kehidupan politik sebuah negara. Untuk menuju ke arah integrasi kehidupan masyarakat, negara dan Islam diperlukan ijtihad yang akan memberikan pedoman bagi anggota parlemen atau politisi dalam menjelaskan hujahnya dalam berpolitik. Dan interaksi umat Islam yang hidup dalam alam modern ini dengan politik akan memberikan pengalaman dan tantangan baru menuju masyarakat yang adil dan makmur. Berpolitik yang bersih dan sehat akan menambah kepercayaan masyarakat khususnya di Indonesia bahwa memang Islam mengatur seluruh aspek mulai ekonomi, sosial, militer, budaya sampai dengan politik.

Wallahua’lam bissawab.

Daftar Pustaka

Al Qur’an

Goodin, Robert E., and Han-Diter Klingemann (ed) A New Hanbook of Political Sciencen,Oxford, Oxford University Press, 1998.

Ibu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara. Bandung, Bulan Bintang, 1989.

Al Qaradhawi, Yusuf, Retorika Islam. Jakarta, Khalifa, 2004.

Rusett, Bruce, Haryvey Starr, David Kinsella, World Politics, Boston, St Martin’s,2000.

Pengertian dan Ruang Lingkup Politik, makalah, tanpa tahun.

2 responses to “politik dan Islam: Definisi, Teori dan Praktek

  1. bersama berbagi ilmu untuk umat islam.tetap sebarkan ilmumu!

  2. mohon kesediaannya untuk menjelaskan lebih rinci tentang,pemikiran dan praktek politik ( latar belakang,sumber,tokoh,ajaran,implikasi bagi dunia Islam ),thanks atas batuannya

Tinggalkan Balasan ke anwar Batalkan balasan